KPK Sita Dua Aset Eks Staf Ahli Menaker Haryanto Terkait Kasus Pemerasan RPTKA
JAKARTA, KABARINDOTOP – KPK Sita Dua Aset Eks Staf Ahli Menaker Haryanto Terkait Kasus Pemerasan RPTKA. KPK menyita rumah di Sentul dan kontrakan di Depok milik Haryanto, mantan staf ahli Menaker, terkait dugaan pemerasan pengurusan RPTKA yang merugikan hingga Rp53,7 miliar.
KPK Sita Dua Aset Eks Staf Ahli Menaker Haryanto Terkait Kasus Pemerasan RPTKA
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita dua aset yang diduga terkait kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan. Aset itu milik Haryanto, mantan Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional era Yassierli.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan dua aset yang disita berupa kontrakan seluas 90 meter persegi di Cimanggis, Kota Depok, dan rumah berukuran 180 meter persegi di kawasan Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
"Aset tersebut berupa bidang tanah atau bangunan, yaitu kontrakan seluas 90 meter persegi di wilayah Cimanggis, Kota Depok, dan rumah seluas 180 meter persegi di wilayah Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat," kata Budi di Jakarta, Minggu.
Menurut Budi, aset tersebut dibeli secara tunai dengan uang yang diduga berasal dari hasil pemerasan kepada agen tenaga kerja asing (TKA). Kedua aset kemudian diatasnamakan kerabat Haryanto.
Delapan Tersangka
Kasus dugaan pemerasan ini menyeret delapan orang sebagai tersangka. Mereka adalah aparatur sipil negara di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
KPK mengungkapkan, dalam kurun waktu 2019 hingga 2024, para tersangka berhasil mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari praktik pemerasan pengurusan RPTKA.
RPTKA sendiri merupakan salah satu syarat wajib bagi tenaga kerja asing agar bisa bekerja di Indonesia. Jika dokumen ini tidak diterbitkan, maka izin kerja dan izin tinggal juga tertunda. Akibatnya, perusahaan yang mempekerjakan TKA bisa terkena denda Rp1 juta per hari. Kondisi ini dimanfaatkan para tersangka untuk meminta uang dari pemohon.
Dugaan Berlangsung Sejak Era Cak Imin
KPK juga menyebut praktik dugaan pemerasan ini sudah berlangsung sejak era Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) saat menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi periode 2009–2014. Modus serupa berlanjut pada masa Hanif Dhakiri (2014–2019) hingga Ida Fauziyah (2019–2024).
Untuk kepentingan penyidikan, KPK menahan delapan tersangka tersebut dalam dua tahap. Empat orang ditahan pada 17 Juli 2025, sementara empat lainnya menyusul pada 24 Juli 2025.
