Sosial Media
0
News
    Home Kabar Politik

    Pro dan Kontra Aktivis HAM atas Regulasi Polisi Aktif di Jabatan Sipil

    4 min read

    Pro dan Kontra Aktivis HAM atas Regulasi Polisi Aktif di Jabatan Sipil. Aktivis HAM menilai Putusan MK soal polisi aktif di jabatan sipil sebagai langkah pemulihan netralitas dan demokrasi, tetapi ada kekhawatiran akan potensi konsolidasi kekuasaan di institusi keamanan.

    pro-dan-kontra-aktivis-ham-atas-jabatan-sipil

    Titik Tekan Supremasi Sipil dan Netralitas Aparatur

    Jakarta, 15 November 2025Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa mundur atau pensiun telah menimbulkan reaksi kuat dari elemen masyarakat sipil, terutama aktivis HAM dan organisasi advokasi.

    Pandangan mereka menyoroti isu supremasi sipil, konflik kepentingan, dan perlindungan demokrasi di tubuh negara.

    Pandangan Pro dari Aktivis HAM dan Masyarakat Sipil

    1. Pemulihan Netralitas dan Supremasi Sipil

    Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri sebelumnya membuka celah bagi anggota Polri aktif untuk menempati jabatan sipil tanpa melepas status mereka, yang menurut penggugat merupakan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan melemahkan prinsip netralitas negara.[s.mkri.id][1]

    Aktivis menyambut putusan ini sebagai langkah penting memperkuat supremasi sipil atas institusi keamanan, mengingat “dwifungsi” Polri (tugas ganda sebagai aparat keamanan dan birokrat) bisa menimbulkan benturan kepentingan.

    Sebuah kajian dari ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebut bahwa praktik rangkap jabatan (concurrent positions) oleh aparat penegak hukum, termasuk polisi, bisa menimbulkan konflik kepentingan dan potensi korupsi.[antikorupsi.org][2]

    2. Keadilan Konstitusional

    Pemohon perkara, seperti advokat Syamsul Jahidin, menyatakan norma yang diuji (Pasal 28 ayat (3) bersama penjelasannya) menciptakan ketidaksetaraan hukum.

    Dengan putusan MK, menurut aktivis, pemohon bisa mendapatkan remedy atas kerugian konstitusional karena sebelumnya ada aturan yang memungkinkan polisi aktif menempati jabatan sipil secara luas.[en.mkri.id][3]

    Mereka melihat putusan sebagai penguatan pilar aturan hukum (rule of law), di mana tidak boleh ada ambiguitas yang merugikan warga sipil atau mengaburkan pembagian fungsi negara.

    3. Tuntutan Regulasi Transisi yang Tegas

    Aktivis menekankan bahwa meskipun putusan MK tegas, perlu diatur masa transisi agar aparat Polri aktif yang sudah berada di jabatan sipil dapat mundur secara tertib dan terstruktur — tanpa menciptakan kekosongan birokrasi atau disrupsi layanan publik.

    Mereka juga mendorong agar mekanisme pengawasan konflik kepentingan diperkuat, misalnya melalui peraturan internal atau regulasi publik, agar polisi yang pindah ke jabatan sipil tetap akuntabel dan transparan.

    Kekhawatiran / Kritik dari Masyarakat Sipil

    1. Potensi Konsolidasi Kekuasaan dalam Institusi Keamanan

    Sebagian aktivis berpendapat bahwa meski putusan MK memperkuat aturan formal, masih ada ancaman jika polisi aktif diposisikan dalam jabatan sipil strategis setelah melepas status melalui mundur atau pensiun.

    Karena jabatan sipil “daripada Polri” bisa tetap memberi pengaruh besar kepada institusi kepolisian.

    Bagi aktivis HAM, pengaturan jabatan sipil bagi perwira Polri harus sangat dibatasi agar tidak menimbulkan dominasi Polri di lembaga sipil yang esensial.

    2. Ketidakjelasan dalam Implementasi Konfllik Kepentingan

    Meskipun beberapa ahli pemerintahan menyatakan bahwa konflik kepentingan dapat dikelola melalui regulasi yang ada (misalnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan MenPAN-RB).[en.mkri.id][4]

    Aktivis khawatir bahwa pengelolaan konflik kepentingan oleh aturan internal saja tidak cukup, terutama jika pejabat sipil mantan polisi berpindah ke posisi pengambilan keputusan strategis.

    Mereka menuntut transparansi penuh dan audit independen agar tidak terjadi “backdoor power”.

    3. Risiko Keterlibatan Sipil yang Lemah dalam Legitimasi

    Dalam konteks demokrasi, ada keraguan bahwa transisi regulasi akan dilakukan secara inklusif.

    Aktivis menyoroti bahwa proses revisi aturan usai putusan MK harus melibatkan masyarakat sipil, bukan semata-mata antar elit politik atau institusi keamanan.

    Beberapa juga memperingatkan agar reformasi tidak hanya bersifat simbolis — yaitu perubahan regulasi tanpa budaya lembaga yang berubah.

    Jika hanya aturan tanpa pengawasan masyarakat, kekhawatiran lama soal dominasi polisi dalam politik atau birokrasi bisa kembali.

    Analisis Lebih Lanjut: Implikasi bagi Demokrasi dan HAM

    1. Momentum Reformasi Kelembagaan: Putusan MK memberi kesempatan penting bagi masyarakat sipil untuk menegaskan peran mereka sebagai pengawas reformasi Polri. Bila regulasi disinkronkan dengan masukan publik dan aktivis HAM, langkah ini bisa memperkuat tata kelola demokratis di Indonesia.
    2. Tantangan Transparansi: Proses penyusunan aturan turunannya (misalnya peraturan pelaksana) menjadi krusial. Aktivis akan menilai seberapa serius pembuat kebijakan mewujudkan prinsip netralitas dan akuntabilitas.
    3. Penguatan Mekanisme Akuntabilitas: Aktivis HAM kemungkinan akan terus memperjuangkan adanya mekanisme independen (lembaga pengawas, media, masyarakat sipil) yang bisa memantau eks perwira Polri yang menduduki jabatan sipil agar tidak menyalahgunakan kewenangan.
    4. Resistensi Institusional: Ada potensi resistensi dari sebagian anggota Polri aktif yang menahan pengunduran diri jika jabatan sipil strategis mereka dilepas. Masyarakat sipil perlu memperkuat suara agar proses transisi tidak dihambat oleh kepentingan internal Polri.

    Kesimpulan

    Dari perspektif masyarakat sipil dan aktivis HAM, putusan MK dipandang sebagai kemenangan signifikan bagi demokrasi dan supremasi sipil atas institusi keamanan.

    Namun, kegembiraan ini disertai kewaspadaan: para aktivis menekankan bahwa regulasi baru harus dirancang sangat hati-hati, dengan masa transisi yang jelas dan mekanisme pengawasan konflik kepentingan yang kuat.

    Tanpa keterlibatan publik dan transparansi yang memadai, reformasi legal bisa menjadi kosmetik belaka — dan potensi dominasi Polri di ranah sipil tetap menjadi ancaman jangka panjang.

    Sumber Refernsi Berita

    Buka Sumber Berita
    1. https://s.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_13410_1763008368.pdf
    2. https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Case%20Study%20Of%20Concurrent%20Position%20of%20Law%20Enforcement%20Officials%20as%20SoE%20Commissioners_0.pdf
    3. https://en.mkri.id/news/details/2025-07-29/Advocate_Objects_to_Active-Duty_Police_Officers_Holding_Civil_Positions
    4. https://en.mkri.id/news/details/2025-09-25/Govt%E2%80%99s_Expert_Denies_Conflict_of_Interest_in_Appointment_of_Police_Within_Civil_Service
    Comments
    Additional JS